Andai Tuhan Punya Surel
March 11, 2016[Audio] CERIA : Meneladani Istri Rasul
March 30, 2016Oleh Ustadz dr. Adika Mianoki
Kamis, 10 Maret 2016
Assalamu’alaykum wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Pertama-tama marilah kita bersyukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberi kita berbagai macam nikmat, nikmat yang sangat banyak, nikmat yang tak terhingga, yang bahkan kita sendiri pun tidak mampu untuk menghitungnya, terutama bersyukur atas nikmat khusus yang hanya diberikan kepada sebagian orang yakni nikmat iman, islam, dan taufik, yang atas izin-Nya, kita termasuk sebagian orang tersebut.
Untuk apa kita hidup di dunia? Untuk apa kita bangun tidur, lalu makan, mandi dan lain sebagainya? Sebuah pertanyaan sepele yang mungkin tidak banyak dipikirkan oleh orang. Sebuah pertanyaan simpel namun sangat krusial bagi hidup kita karena menyangkut kehidupan sehari-hari. Apakah Allah menciptakan manusia lalu dibiarkan begitu saja? Tentu tidak. Jelas kita hidup di dunia ini bukan hanya untuk menghabiskan waktu dan tanpa tujuan.
Ada sebuah kaedah yang mesti kita jadikan patokan untuk kita berpikir, sebuah prinsip yang harus menjadi dasar untuk kita memandang sesuatu, yakni firman Allah subhanahu wa ta’ala
وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Dan Dia (Allah) Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Q.S. At Tahrim : 2)
Allah subhanahu wa ta’ala sempurna ilmu-Nya, Dia maha mengetahui segala sesuatu yang ada di langit maupun di bumi, yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Dan Allah Maha bijaksana, setiap perbuatan-Nya, setiap penciptaan-Nya, dan setiap apa yang menjadi kehendak-Nya selalu memiliki hikmah. Maka, adalah tidak mungkin untuk Allah menciptakan sesuatu yang sia-sia, dan adalah kemustahilan untuk Allah menciptakan sesuatu tanpa maksud dan tujuan. Kita sebagai manusia dengan ilmu seadanya, hampir selalu melakukan sesuatu karena ada tujuannya, apalagi Allah subhanahu wa ta’ala, Zat yang sempurna ilmu-Nya, Zat yang sempurna hikmah-Nya, sudah pasti Dia melakukan sesuatu dengan maksud dan tujuan yang penuh hikmah.
Inilah yang perlu kita pahami bahwa tidak mungkin Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan sesuatu sia-sia dan untuk main-main saja, termasuk dalam penciptaan manusia. Allah berfirman
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan begitu saja? (Q.S. Al Qiyamah : 38)
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?(Q.S. Al Mu’minun : 115)
Apakah kita diciptakan lalu dibiarkan begitu saja? Tanpa perintah dan tanpa larangan? Tanpa balasan atas perbuatan kita? Tentu tidak, karena hal ini jelas bertentangan dengan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala. Kedua ayat di atas menegaskan kembali bahwa tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan sesuatu dengan sia-sia dan tanpa tujuan.
Kemudian kembali ke pertanyaan awal, lalu apa tujuan Allah menciptakan kita manusia? Untuk apa aku hidup di dunia? Dan jawabannya sudah jelas tertera dalam Al Qur’an, surat Adz-Dzariat ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Q.S. Adz-Dzariyat : 56)
Ya, manusia hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah. Lalu mungkin timbul pertanyaan, apa sebenarnya Ibadah itu? Menurut ulama, ibadah secara bahasa adalah aktivitas merendahkan diri dan menghinakan diri kepada zat yang diibadahi yang disertai dengan rasa cinta dan pengagungan. Jadi, ketika seseorang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka pada hakekatnya ia sedang merendahkan dirinya dan menghinakan dirinya kepada Allah disertai rasa cinta dan pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sedangkan definisi ibadah yang lebih lengkap adalah setiap aktivitas yang diridhoi dan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang dhohir (terlihat) maupun batin (tidak terlihat). Ada beberapa indikator suatu hal diridhoi dan dicintai oleh Allah, sehingga termasuk ibadah, yakni
- Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkannya, seperti sholat dan zakat (“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat”)
- Allah subhanahu wa ta’ala menyukainya, seperti bertaubat (“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat”)
- Allah subhanahu wa ta’ala memberi kebaikan dan pahala, seperti membaca Al Qur’an (“Barangsiapa membaca 1 huruf dalam al quran maka dia akan mendapat 1 kebaikan dan 1 kebaikan itu dilipatgandakan 10X”-HR Tirmidzi)
Beberapa contoh di atas merupakan contoh ibadah dhohir, namun perlu kita ingat bahwa ibadah bukan hanya aktivitas yang terlihat, namun dapat juga berupa aktivitas batin atau yang tidak terlihat, atau biasa disebut ibadah qalbiyah (ibadah hati), seperti khouf (rasa takut), mahabbah (rasa cinta), raja’ (rasa harap), tawakkal, dll.
Setelah kita mengetahui definisi dan aktivitas ibadah, selanjutnya yang lebih penting lagi untuk kita perhatikan adalah niat ibadah kita. “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
“Kepada-Ku” di ayat ini tentu maksudnya adalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ibadah kita memang harus didasarkan atas tauhid, kita niatkan untuk Allah, dan kita tujukan hanya untuk Allah. Lalu bagaimana bila ibadah kita bukan untuk Allah atau ibadah kita bukan hanya untuk Allah? Inilah yang kita sebut sebagai perbuatan syirik. Dan seperti kita tahu, syirik merupakan kedzaliman yang besar dan pelaku syirik mendapatkan dosa besar yang tidak diampuni Allah subhanahu wa ta’ala . Naudzubillahi min dzalik.
Perlu kita ketahui bahwa ibadah yang kita lakukan hanya akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala jika memenuhi 2 syarat. Syarat tersebut adalah
- Ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti yang sudah kita bahas di atas, yakni ibadah dengan memurnikan tauhid (Mengesakan Allah).
- Sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita dilarang untuk mengada-adakan urusan dalam agama yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua syarat tersebut disebutkan dalam surat Al Kahfi ayat 110
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya (Q.S. Al- Kahfi : 110)
Amal shaleh yang disebutkan dalam ayat tersebut berarti amalan-amalan yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan “jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya” berarti ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian muncul pertanyaan baru “Apakah Allah subhanahu wa ta’ala membutuhkan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Apakah Allah subhanahu wa ta’ala mendapatkan keuntungan dari ibadah manusia?” Jawabannya adalah TIDAK. Adalah sebuah pemikiran yang salah besar ketika terbesit pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam pikiran kita. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dan melanjutkan surat Adz-Dzariyat di ayat 57-58
مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan (Q.S. Adz-Dzariyat 57)
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.(Q.S. Adz-Dzariyat 58)
Ayat ini jelas sangat berlawanan dengan pertanyaan di atas, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak membutuhkan apapun dari makhluknya, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala Maha Pemberi Rezeki yang berarti Dialah yang akan memberi rezeki kepada makhluknya, Dia memiliki Kekuatan dan Sangat Kokoh. Maka dengan sangat jelas Allah menjelaskan bahwa Allah tidak membutuhkan apapun dan siapapun, termasuk makhluknya, namun sebaliknya kitalah sebagai makhuknya yang membutuhkan Allah subhanahu wa ta’ala karena Dialah yang Maha Pemberi Rizki. Jadi sebenarnya ibadah yang kita lakukan pada dasarnya adalah untuk kebaikan kita sendiri.
Sebagai penutup, setelah kita mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita untuk beribadah atas dasar tauhid, maka marilah kita sesuaikan aktivitas keseharian kita dengan apa yang diinginkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, marilah kita jadikan aktivitas sehari-hari kita menjadi aktivitas yang menjadi tujuan kita diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala, yakni tauhid. Mari kita pelajari tauhid, mengamalkan tauhid dan mendakwahkan tauhid. Jadikan setiap hembusan nafas ini adalah ibadah, Ikhlaskan hati ini karena Allah dalam setiap langkah, semoga Allah mewafatkan kita dalam kondisi khusnul khotimah, dan akhirnya berkumpul kembali karena Ridho-Nya di dalam Jannah.
Sesi Tanya Jawab
- Pada surat Al Baqarah ayat 30 disebutkan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Apakah ayat ini bertentangan dengan tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah?
Setiap ayat di Al Quran tidak ada yang saling bertentangan. Maka hal ini tentu jelas tidak betentangan dengan tujuan Allah menciptakan manusia untuk mentauhidkannya.
- Apakah melakukan sesuatu karena ingin membahagiakan orang tua termasuk syirik?
Tidak, Bahkan sebaliknya, membahagiakan orang tua atau birrul walidain itu termasuk ibadah
- Apakah bertaubat karena orang lain, contoh orang yang dicintainya termasuk syirik? Walaupun seiring berjalan waktu niatnya menjadi karena Allah
Apabila kita berubah karena termotivasi kebaikan orang lain, dan apa yang kita lakukan tetap karena Allah hal itu tetap ternilai ibadah. Selama ibadah kita tersebut bukan karena semata-mata ingin dilihat atau dipuji atau disukai orang tersebut atau orang lain, namun selalu memperbaiki niatnya karena Allah subhanahu wa ta’ala maka itu tidak apa-apa
- Mengapa Allah menciptakan golongan-golongan yang menyimpang, golongan yang memecah belah?
Allah maha mengetahui dan mahabijaksana. Bahwa Allah menciptakan sesuatu pasti ada hikmahnya. Analoginya Allah menciptakan iblis ada hikmahnya, untuk menguji manusia. Salah satu hikmah adanya golongan-golonan tersebut adalah menguji manusia. Allah maha mengetahui sedangkan manusia tidak mengetahui.
- Bagaiamana cara khusyuk dalam sholat?
2 hal yang perlu diperhatikan adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan ajaran nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka semakin ikhlas, semakin khusyuk. Dan semakin sesuai dengan ajaran nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berusaha untuk memahami gerakan dan bacaan, makasa semakin khusyuk pula sholatnya.
- Apabila beribadah dengan melakukan amalan baru yang tidak dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun dia ikhlas, apakah amalan tersebut diterima?
Karena tidak memenuhi syarat kedua (Sesuai dengan ajara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) maka amalan tidak diterima, sebaliknya malah mendapat dosa.
- Apakah dasar dari perbuatan bid’ah atau syari’at?
Apabila jelas tidak ada asalnya dari Allah dan Rasulnya maka jelas bid’ah. Namun bila masih ada keraguan, kembalikan pada pendapat ulama’
- Apabila ada perbuatan sahabat yang dibiarkan rasul, apakah termasuk sunnah atau bagaimana?
Ya itu termasuk salah satu sunnah dan dapat dijadikan dalil
- Menziarahi makam ulama atau rasul secara khusus, apakah diperbolehkan?
Menziarahi kubur termasuk sunnah, namun apabila mengkhususkan perjalanan untuk berziarah kubur tidak diperbolehkan, berbeda apabila kebetulan lewat dan lalu berziarah itu diperbolehkan. Karena mengadakan perjalanan khusus untuk beribadah itu dilarang kecuali ke 3 tempat, yakni masjidil haram, masjidil aqsa dan masjid nabawi.
- Bagaimana hukumnya melakukan amalan karena disuruh atau dipaksa orang tua?
Melakukan perintah orang tua merupakan kewajiban, saat orang tua menyuruh kita melakukan hal mubah, maka kita wajib melakukannya, apalagi apabila orang tua menyuruh kita melakukan hal wajib, maka akan semakin wajib.
- Bagaimana beribadah karena pahala, surga dan neraka?
Hal ini tidak bertentangan dengan ikhlas, karena tujuannya akhirat karena kembalinya kepada Allah. Bahkan Rasulullah berdo’a meminta surga dan berlindung dari neraka.
(Dirangkum oleh Afif Ramadhan)