Lomba KulTwit Dan Menulis Surat di FB
June 26, 2013MEF 2013 “Moslem Entrepreneur Festival”, Lomba Business Plan
October 12, 2013Jumat, 12 Juli 2013. Jalanan malioboro di area km. 0 menjadi sebuah saksi bisu tentang tapak-tapak kecil dari insan yang berusaha mengikhlaskan hati untuk berbagi di bulan mulia, Ramadhan 1434 H. Hari itu, jalanan tampak lengang dari keramaian khas malioboro. Walaupun begitu, tanda khas dari jalan kecil yang menjadi salah satu icon kota jogja masih tampak begitu kental. Toko-toko besar yang berjajar di pinggir jalan, Pedagang kaki lima yang berjajar di depannya, hingga puluhan andong dan becak yang menghias di bibir jalan. Semua membuat sebuah irama khas kota budaya ini begitu unik dengan berbagai kekhasan yang tidak ditemui di kota lain. Hingga, kompleks kecil ini menjadi salah satu tujuan orang yang hendak datang di kota ini. Kabarnya, tak lengkap pergi ke jogja ketika belum sampai di malioboro.
Berbagai keunikan, kekhasan, dan euforia di jalanan ini tak ubahnya menggambarkan sebuah potret kehidupan yang nyata. Mulai dari orang berkantong tebal hingga berbaju kumal bisa kita temui disini. Puluhan ruko yang berjajar dengan ribuan pendatang memakai baju bermerek mahal menjadi sebuah isyarat bahwa disini kan banyak bertaburan materi duniawi, layaknya pasar dan pusat perbelanjaan pada umumnya. Akan tetapi, penghias di bibir jalan telah memberikan pemandangan tak seirama namun penuh warna. Disinilah kita bisa mengenal kota budaya ini sesungguhnya, kota yang disebut-sebut sangat menjunjung tinggi etika dan sopan santun adat jawa. Puluhan andong dan becak telah menjadikan isyarat penuh makna, bahwa kota ini bukan kota yang mengagungkan kemewahan, namun syarat akan kesederhanaan.
Hadirnya mereka, para penjaja makanan kecil yang membuka lapak di tepian trotoar, pengamen jalanan yang menambah keramaian, hingga beberapa pengemis yang menengadahkan tangan menjadi pertanda bahwa kota ini belum ideal sebagaimana yang kita bayangkan. Karena masih banyak carut-marut disana-sini. Namun, lagi-lagi bingkai kota budaya mengaburkan semua kenyataan itu. Menjadikan anggapan bahwa ini adalah lokal area yang begitu istimewa.
Sebuah ilustrasi singkat yang kemudian mengukuhkan niat para pejuang KaLAM 1434 H untuk menolehkan pandangan ke tempat mungil itu, melangkahkan kaki menyusuri trotoar di tepian jalan malioboro. Sebanyak 27 orang pejuang KaLAM bersama-sama merajut ukhuwah dalam bingkai dakwah. Bersatu padu dalam sebuah usaha, berbagi di bulan mulia. Tujuannya tak lain adalah pahala di sisi Allah, Rabb yang maha tinggi melalui sebuah upaya kecil, berbagi bersama orang-orang yang merasakan kerasnya kehidupan jalanan.
Sekitar 90-an kotak nasi yang dihimpun dari civitas akademika FK UGM telah berhasil dibagikan kepada orang-orang yang menggantungkan hidupnya di jalanan malioboro. Mulai dari tukang becak, kusir andong, penjaja kaki lima, hingga tukang parkir yang masih sibuk berjaga telah menerima kotak-kotak makan untuk berbuka puasa di hari itu. Tak butuh waktu lama untuk membagikan kotak-kotak itu, karena begitu rombongan keluar dari basecamp langsung di sambut cepat oleh orang-orang yang ada disana. Hingga, waktu sepuluh menit berlalu begitu cepat dan kotak makan itu pun telah berpindah tangan.
Sebagaimana hukum fisika, sebuah aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Begitupun dengan aksi kecil ini, telah memunculkan reaksi yang begitu cepat. Puluhan tangan-tangan yang penuh dengan kerja keras itu telah menyadarkan kita, bahwa kehidupan tidak hanya sebatas dunia kecil di lingkup kampus. Sebuah perkataan halus nan sejuk “terima kasih mas, mbak” laksana menjadi embun yang membasahi jiwa yang kering keronta. Menjadikan hati ini begitu terenyuh, bahwa masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan sapaan hangat dan uluran tangan dari kita. Serbuan kilat dari berbagai sudut di area km.0 juga memberikan isyarat bahwa sesuap nasi begitu berharga bagi kehidupan mereka, yang barangkali hanya biasa saja kita menganggapnya.
Bahkan, salah seorang bapak yang kala itu menyuguhkan senyuman hangat khas masyarakat jawa kembali menyadarkan kita, tentang arti sholat jamaah di masjid. Kala itu, beliau tengah sibuk menautkan tali andongnya pada sebuah tiang di tepian jalan. Hingga, sebuah percakapan singkat menjadi sebuah tanda penuh makna. “Ini mas, sedang mengikat andong, karena mau ditinggal ke masjid untuk sholat maghrib.” Begitulah, kurang lebih kata-kata yang beliau ucapkan. Begitu sederhana, namun sungguh itu adalah kata yang syarat akan makna. Betapa kita yang hidup dengan berbagai kemudahan, tak harus mengumpulkan kepingan logam rupiah, begitu enggan mendengarkan adzan. Padahal tak perlu khawatir dokar diambil orang, tak perlu risau kehilangan mata pencaharian, namun rasanya seperti ada setumpuk karung yang menghambat kaki untuk melangkah menuju rumah Allah.
Berharap, langkah kecil ini menjadi sebuah usaha untuk mensyiarkan Islam bulan Ramadhan. Menjadikannya pahala di sisi Allah, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah dalam hadistnya, “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” Selain itu, semoga kiranya reaksi yang timbul setelah aksi kecil ini mampu menyejukkan hati, menjadikannya pengalaman penuh arti yang kelak akan menumbuhkan bibit-bibit amal tiada henti.
Akhirnya, ifthor on the road pada Ramadhan 1434 H ini ditutup dengan buka bersama di area benteng Vrederburg, sebelah ujung jalan malioboro. Senja yang begitu hangat, setelah berbagi kotak-kotak kecil, kini saatnya masing-masing berbagi cerita, menumpahkan tawa canda bersama sahabat dalam kebaikan. Selepasnya, semua berjalan menuju rumah Allah di masjid Muttaqiin pasar Beringharjo dan dilanjutkan sholat isya’ dan tarawih berjamaah di masjid Gede Kauman.(T Indrawan)