[Audio] CERIA : Meneladani Istri Rasul
March 30, 2016Info Beasiswa “Sejawat Berbagi”
April 7, 2016
Pemateri : Nuri Ashrissilmi (Ilmu Keperawatan 2012)
Jumat, 18 Maret 2016
Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama, yang juga dijuluki sebagai Ummul Mukminin, ibunda orang-orang beriman, dialah Khadijah binti Khuwaylid. Banyak keteladanan yang dapat kita ambil dari kisah beliau, bagaimana beliau menjalankan keimanannya sebagai seorang muslimah, sebagai seorang anak dari kedua orang tuanya, sebagai seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Namun, yang akan lebih banyak dibahas disini adalah keteladanan dari seorang Khadijah sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah telah dua kali menikah. Pada pernikahan pertama, suaminya meninggal dunia dan pada pernikahan kedua, ia berpisah dengan suaminya. Khadijah terkenal sebagai wanita yang kaya, cerdas, bijaksana, dan terhormat di kalangan Quraisy. Ia memiliki usaha dagang yang telah merambah Syams, jika diibaratkan pada jaman sekarang ia telah mampu mengekspor barang dagangannya ke luar negeri, ini merupakan pencapaian yang luar biasa menurut pandangan orang Arab pada masa itu.
Sebelum berislam pun bahkan Khadijah telah dijuluki at-thahiru, wanita yang suci, ia terkenal dengan kesuciannya. Setelah pernikahan keduanya ia menjaga diri untuk tidak menikah karena menginginkan seorang laki-laki yang dimimpikannya. Jadi, suatu ketika Khadijah bermimpi ada sumber cahaya yang sangat besar datang kedalam pelukannya dan menyinari ruangan di sekitarnya, cahaya itu tidak menyilaukan mata dan hadirnya cahaya itu didahului dengan ketentraman hati.
Khadijah bingung dan menanyakan hal itu kepada sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah menampakkan ekspresi bahagia kemudian menjelaskan bahwa akan ada sesosok pria yang dicirikan seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datang ke dalam rumah Khadijah dan kehadirannya akan memberikan cahaya bagi Khadijah dan orang-orang disekitarnya. Setelah itu, banyak lamaran laki-laki yang ditolak oleh Khadijah selama tidak sesuai dengan yang dicirikan oleh Waraqah.
Suatu saat Khadijah mendengar tentang seorang bernama Muhammad bin Abdullah (Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul) yang terkenal dengan julukan Al-Amin, seorang yang dapat dipercaya. Selain itu juga, Muhammad terkenal dengan kegigihan dan keahlian berdagangnya. Kemudian Khadijah memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawab bisnis ke Syams kepada Muhammad.
Di perjalanan menuju Syams, Muhammad ditemani oleh salah satu pembantu Khadijah, Maysarah. Sesampainya di Bosra, di sebelah selatan Suriah, Muhammad duduk berteduh di bawah pohon rindang yang tidak jauh dari tempat seorang pendeta bernama Nestor. Pendeta itu bertanya kepada Maysarah, ”Siapa orang yang berteduh di bawah pohon itu?”
“Dia orang Quraisy” kata Maysarah, “dari keluarga penjaga Tanah Suci”.
“Hanya seorang rasul dan utusan Allah yang duduk di pohon tersebut,” kata Nestor.
Singkat cerita, dari hasil usaha dagangnya tersebut nabi mampu menghasilkan untung 2x lipat.
Sepulangnya dari Syams, Maysarah menceritakan apa yang terjadi saat perjalanan itu, bahwa ada tanda kerasulan pada diri Muhammad. Dari situ mulai terlihat kecenderungan adanya perasaan Khadijah kepada Muhammad, kemudian Khadijah menceritakan perasaannya kepada salah satu sahabatnya, Nufaisah binti Munayah. Di sini pelajaraan yang dapat diambil ialah:
- Dari sisi Khadijah, ketika kita memiliki kecenderungan perasaan kepada seseorang, hendaknya ceritakan kepada sahabat yang dapat dipercaya.
- Dari sisi sahabatnya, hendaknya kita menjaga apa yang diceritakan walau tanpa diminta terlebih dahulu.
Nufaisah lalu datang kepada Muhammad dan menanyakan mengapa ia belum menikah. “Aku tidak memiliki apa-apa untuk dapat berumah tangga,” jawab Muhammad.
“ Jika ada seorang wanita yang cantik, kaya, terhormat, dan berlimpah harta, apakah engkau bersedia?” tanya Nufaisah.
“Siapakah dia?”
“Khadijah.”
“Bagaimana aku menikahinya?”
“Serahkan hal itu padaku!”
“Baiklah dari pihakku bersedia.”
Singkat cerita, akhirnya beliau menikahi Khadijah. Bersama Khadijah, beliau dianugrahkan 6 orang anak, yakni Abul Qashim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu pertama, beliau kebingungan, khawatir, kemudian pulang ke rumah dalam keadaan menggigil. Mengetahui hal tersebut, tanpa berkata-kata Khadijah langsung menyelimuti Rasul. Inilah bukti bahwa Khadijah sangat memahami suaminya. Malam itu Khadijah menenangkan Rasul dan mengajak beliau ke Waraqah untuk menanyakan hal tersebut, Waraqah mengatakan bahwa itu merupakan tanda-tanda kenabian, tanda-tanda bahwa Nabi Muhammad telah diutus menjadi Rasul di muka bumi ini bagi seluruh umat.
Ini merupakan tugas yang cukup berat bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di kala itu, dan disini peran Khadijah muncul sebagai penguat, penyemangat, dan penyokong dalam segi materi maupun non materi. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada Bani Quraisy bahwa ia adalah utusan Allah, beliau yang selama ini dikenal sebagai al-Amin seketika itu dicaci maki sebagai pembohong, hingga Bani Quraisy sepakat untuk memboikot Bani Hasyim. Khadijah pun yang dahulu kaya raya seketika menjadi miskin dan dicibir dimana-mana. Namun beliau melewati semuanya dengan sabar, tanpa banyak berkata-kata, tanpa mengeluh.
Selepas kepergian Khadijah, Rasulullah pernah mengatakan kepada Aisyah bahwa Khadijah adalah istri yang paling beliau cintai, karena:
- Dia bertahan ketika orang-orang mendustaiku
- Dia memberikan harta ketika semua orang meninggalkanku
- Dia memberikan anak ketika yang lain tidak memberikanku anak
Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa kita sebagai seorang muslimah, calon istri sekaligus ibu, bercita-citalah untuk menjadi supporting system bagi keluarga kita kelak, jadilah yang menguatkan, jangan mengeluh. Marilah jaga lisan kita, karena diam itu lebih baik daripada berbicara yang tidak bermanfaat.
(Dirangkum oleh Sheila Kusuma W dan Sri Wahyuningsih)