KaLAM Submission Form
October 22, 2014Satu? Wahid, Tauhid, Satu Jua
March 22, 2015Apa itu cinta? Apa dan siapa yang dapat kita cintai? Dan bagaimana kita harus mencintai? Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul ketika membaca judul tersebut. Cinta dalam bahasa Arab sendiri disebut sebagai mahabbah. Mahabbah sendiri berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Cinta pun punya definisi masing-masing bagi setiap orang, bergantung pada sudut pandang orang tersebut. Cinta bagi sebagian orang berarti menerima segala kelebihan dan kekurangan. Namun, poin pentingnya, cinta memiliki arti yang sederhana: cinta adalah memberi. Begitu setidaknya menurut Kak Dwi Karina Ariadni yang biasa dipanggil Kak Wina dalam acara Ceria (Cerita inspiratif tentang muslimah) yang diadakan oleh KaLAM FK UGM pada Jum’at, 6 Maret 2015 di Ruang Kuliah Bambang Soetarso lantai tiga.
Jika cinta adalah memberi, lalu pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita boleh memiliki perasaan cinta? Jawabannya adalah ya, kita boleh memilikinya, karena sesungguhnya cinta adalah sebuah perasaan yang menjadi fitrah bagi setiap manusia.
- Allah SWT berfirman dalam QS Ar-Ruum ayat 21, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
- Dalam QS Ali Imran ayat 14, Allah SWT pun berfirman, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Cinta adalah memberi, cinta juga merupakan fitrah bagi manusia, lalu sebenarnya apa sajakah hal-hal yang dapat kita cintai? Atau siapa sajakah yang boleh kita cintai? Menurut Kak Wina, pada dasarnya, cinta dapat dibagi menjadi cinta karena Allah SWT dan cinta bukan karena Allah SWT.
- Cinta karena Allah SWT adalah cinta yang didasari rasa iman kepada Allah SWT, yang selanjutnya akan membawa kepada ketenangan dan ketenteraman.
- Sementara di sisi lain, cinta yang bukan karena Allah dapat berlanjut menjadi cinta yang semu, cinta yang hanya berdasar pada hawa nafsu, sehingga pemiliknya pun akan jauh dari rasa tenang dan tenteram.
Jika demikian, bagaimana membuat semua perasaan cinta yang kita miliki menjadi cinta karena Allah SWT? Jawabannya adalah jangan hilangkan cinta, namun bawalah cinta kepada syari’at. Cinta yang berdasarkan kepada syari’at akan kekal, tidak hanya ada di dunia, namun berlanjut ke akhirat. Cinta yang demikian juga akan menghasilkan kasih sayang yang menghaluskan akhlak dan melembutkan jiwa.
Jika kita telah mengetahui bagaimana membuat perasaan cinta menjadi cinta karena Allah SWT, lantas apa yang harus kita lakukan jika kita jatuh cinta? Ups, ternyata Kak Wina punya istilah sendiri untuk orang yang sedang jatuh cinta ini. Bagi Kak Wina, istilah bangun cinta lebih pas dan mengena. Cinta yang sedang kita alami tidak selayaknya membuat kita jatuh, namun justru harus kita bangun sesuai dengan syari’at sehingga menjadi hal yang lebih positif. Lalu bagaimana solusi untuk orang yang sedang dilanda cinta agar dapat membangun cintanya? Terdapat dua jalan yang dapat dipilih.
- Jalan yang pertama adalah menikah. Jalan ini diambil apabila keduanya telah siap dan mampu untuk menjalankan tugas dan kewajibannya masing-masing.
- Sementara jalan yang kedua adalah berpuasa. Jalan ini dapat dipilih apabila keduanya belum mampu melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Puasa di sini dapat berfungsi untuk menahan hawa nafsu yang dapat membawa cinta kepada hal yang negatif.
Salah satu pesan penting untuk orang yang sedang membangun cintanya adalah petuah dari Imam Syafi’i, “Do not love the one who doesn’t love Allah. If they can leave Allah, they will leave you.”
Tanda-tanda cinta (‘Alaamatul hubb) sendiri telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Tanda-tanda tersebut antara lain:
- Menaati (Ath-thaa’atu): QS An-Nisaa’ ayat 80
- Mengharap (Ar-rajaau): QS Al-Anbiyaa’ ayat 90
- Cemas (Al-khaufu): QS Al-Anbiyaa’ ayat 90
- Berkorban (At-tadhkhiyyah): QS Al-Baqarah ayat 207
- Rela (Ar-ridha): QS At-Taubah ayat 61-62
- Kagum (Al-i’jaabu): QS Al-Fatihah ayat 1
- Sering disebut (Katsratudz dizkri): QS Al-Anfaal ayat 2
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu ada beberapa orang yang bukan golongan nabi dan syuhada, namun para nabi dan syuhada menginginkan keadaan seperti mereka, karena kedudukannya di sisi Allah.” Sahabat kemudian bertanya, “Ya Rasulullah tolong beritahu kami siapa mereka.” Rasulullah SAW menjawab, “Mereka adalah satu kaum yang cinta mencintai karena Allah tanpa ada hubungan sanak saudara, kerabat di antara mereka serta tidak ada hubungan harta benda yang terdapat pada mereka. Maka demi Allah, wajah-wajah mereka sungguh-sungguh bercahaya, sedang mereka tidak takut apa-apa di kala orang lain takut dan mereka tidak berduka cita di kala orang lain berduka cita.” Dalam hadits tersebut, diperlihatkan betapa mulianya kedudukan orang-orang yang saling mencintai karena Allah meskipun tidak ada hubungan sanak saudara, hingga para nabi dan syuhada ingin berada dalam keadaan seperti mereka.
Rasa saling mencintai, meskipun tanpa ada hubungan sanak saudara, juga tercermin dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota menderita sakit, maka yang lain ikut merasakan hingga tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari hadits tersebut tercermin bahwa sesungguhnya rasa cinta tidak terbatas pada hal-hal yang kita sukai, pun juga tidak terbatas pada orang yang kelak akan menjadi pasangan hidup kita, namun juga cinta kepada sesama mukmin, di mana jika seorang mukmin yang lain sedang merasa kesusahan, maka kita pun akan tergerak untuk ikut merasakan dan membantunya sehingga ia terlepas dari kesusahan yang menimpanya.
-Imaniatush Sholikhah [Publikasi dan Media]